Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2015 Pasal 1, Resistensi Antimikroba adalah kemampuan mikroba untuk bertahan hidup terhadap efek antimikroba sehingga tidak efektif dalam penggunaan klinis. Meningkatnya masalah resistensi antimikroba terjadi akibat penggunaan antimikroba yang tidak bijak dan bertanggung jawab dan penyebaran mikroba resisten dari pasien ke lingkungannya karena tidak dilaksanakannya praktik pengendalian dan pencegahan infeksi dengan baik. Resistensi antimikroba ini membawa dampak yang sangat merugikan, diantaranya adalah meningkatnya angka kesakitan dan menyebabkan kematian, meningkatnya biaya dan lama perawatan pasien serta meningkatnya efek samping dari penggunaan obat ganda dan dosis tinggi.
Resistensi antimikroba saat ini merupakan masalah kesehatan yang mendunia yang harus dipecahkan bersama-sama. Data WHO menyebutkan bahwa pada tahun 2013 terdapat 480.000 kasus baru multidrug-resistent Tuberculosis (MDR-TB) di dunia. Data tersebut menunjukkan bahwa resistensi antimikroba memang telah menjadi masalah global yang harus segera diselesaikan karena merupakan ancaman yang tidak hanya bagi lingkungan yang berkaitan tetapi juga bagi masyarakat luas. Hal ini mendorong Menteri Kesehatan dari 193 negara anggota WHO pada pertemuan WHA ke-68 menghasilkan satu resolusi mengenai Global Action Plan on Antimicrobial Resistance, di mana terdapat lima tujuan strategis untuk memerangi resistensi ini, yaitu :
- Meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang resistensi antibiotika melalui komunikasi efektif, edukasi dan pelatihan.
- Memperkuat pengetahuan dan bukti ilmiah melalui surveilans dan penelitian.
- Mengurangi kejadian infeksi dengan cara sanitasi yang efektif, hygiene dan pencegahan infeksi.
- Mengoptimalkan penggunaan obat-obat antimikroba untuk kesehatan manusia dan hewan.
- Mengembangkan ekonomi untuk investasi berkelanjutan yang mempertimbangkan kebutuhan semua negara-negara di dunia dan meningkatkan investasi pada obat-obatan baru, alat diagnostik, vaksin dan intervensi lainnya
Negara-negara anggota WHO bersepakat untuk menjadikan pengendalian resistensi antimikroba sebagai salah satu program prioritas di bidang kesehatan baik secara nasional maupun global.
Data yang didapat dari KPRA Kemenkes 2016 prevalensi bakteri ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases) di Semarang menduduki peringkat kedua tertinggi di Indonesia dan dari data tersebut juga didapatkan bahwa jumlah bakteri ESBL di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan antimikroba resisten di Indonesia semakin mengkhawatirkan.
Dalam rangka pengendalian resistensi antimikroba secara luas baik di fasilitas pelayanan kesehatan maupun di komunitas di tingkat nasional telah dibentuk Komite Pengendalian Antimikroba yang selanjutnya disingkat KPRA oleh Kementerian Kesehatan. Pengendalian Resistensi Antimikroba adalah aktivitas yang ditujukan untuk mencegah dan/atau menurunkan adanya kejadian mikroba resisten. Disamping itu telah ditetapkan program aksi nasional / national action plans on antimicrobial resistance (NAP AMR) yang didukung oleh WHO.
Komisi Akreditasi Rumah Sakit memasukkan Program Pengendalian Antimikroba dalam Program Nasional pada Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit Edisi 1, dengan fokus area :
- Penyelenggaraan Program tingkat RS
- Pelaksanaan kegiatan oleh Komite/Tim PPRA
- Kepatuhan staf akan regulasi PRA
- Evaluasi dan analisis penggunaan antibiotic
- Kajian penyakit terintegrasi
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2015 Pasal 6 disebutkan bahwa setiap rumah sakit harus melaksanakan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba secara optimal, yang salah satunya dengan pembentukan Tim pelaksanaan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba.
Tim PRA rumah sakit dibentuk dengan tujuan menerapkan pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit melalui perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi. Dalam melakukan tugasnya, Tim PRA berkoordinasi dengan unit kerja: SMF/bagian, bidang keperawatan, instalasi farmasi, laboratorium mikrobiologi klinik, komite/tim pencegahan pengendalian infeksi (PPI) dan komite/tim farmasi dan terapi (KFT).
Akhir kata, PRA merupakan program yang membutuhkan kerjasama multidisiplin untuk mencapai keberhasilan program tersebut, bersama kita bisa!
Komentar Terbaru